Legenda Dende Seruni Part 1|| Gugurnya Demung Sandubaya -->
Selasa, 6 Mei 2025

Iklan Semua Halaman

Legenda Dende Seruni Part 1|| Gugurnya Demung Sandubaya

Insight Anjani
Rabu, 17 Maret 2021

 

Photo by : Ahyar Jrowky

Oleh : Roma Hidayat Yusuf

Lale seruni tak berputus asa. Cinta telah memberinya kekuatan tanpa batas dan ketabahan yang hanya dimiliki oleh ratusan para sufi. Ia terus melakukan Sa'i (lari kecil) antara dua gunung itu.

 

Sementara itu, tak ia sadari bahwa air matanya yang menetes di Savana , bertemu dengan sisa-sisa tetesan darah Demung Sandubaya yang tertutup ilalang liar. Dengan proses kimia yang rumit dan mistis, campuran air mata penuh cinta dan percikan Darah kekasih hatinya itu mengubah rumput & ilalang liar itu menjadi bunga abadi. Bunga yang tetap mekar sepanjang tahun di Savana Aik Pait.

 

Mata terbening di zaman itu tiada henti meneteskan air mata kepedihan yang terus mengalir semenjak kuda Geger Mayang pulang sendiri tanpa tuan. Dan itulah pertanda yang dibisikkan oleh Demung Sandubaya di Malam terakhir ia berpamitan untuk berburu di hutan Gebong, "Jika si Geger Mayang pulang sendiri, maka itu berarti aku telah mendahuluimu ke Alam Sana ".

 

Dunia sontak berubah kelam. Adakah kiamat yang lebih besar bagi seorang yang kehilangan orang yang dicintainya. Tiada tsunami yang memiliki daya hajar mematikan bagi sepasang pengantin baru yang tengah menikmati bulan madu dibanding kenyataan harus terpisah dari cinta sejatinya.

 

Lale Seruni tak mau mempercayai kasat yang ia lihat, jiwanya yang masih halus yang baru beberapa hari yang laku menanggalkan status gadisnya berhalusinasi, seakan ia mendengar Panggilan Demung Sandubaya untuk segera menemuinya.

 

Suara-suara itu sayup, namun jelas mengetuk gendang Telinganya. Sejenak ia berlari ke arah Gunung Nanggi yang berada di sebelah barat Savana itu, hingga ketika ia tiba pucuknya, ia pun meraung ke arah Puncak Agung Gunung Rinjani , menyebut nama Pria yang oleh karena cintannya kepadanya, ia sanggup mengabaikan & meninggalkan kasih sayang serta kemewahan di rumah orangtuanya, sambil berharap, sewaktu-waktu Demung Sandubaya turun dari hutan di puncak Rinjani.

 

Sementara itu, halusinasi itu tetap hidup. Lale Seruni masih mendengar panggilan-panggilan lembut yang menyerunya. Suara bariton dari pria kalangan rakyat biasa yang membuatnya mengabaikan pinangan para bangsawan. Ohhh suara itu terdengar dari timur, tepatnya dari Gunung Padak. Ia mengacuhkan keletihan, kaki lembutnya menyibak ilalang dan rumput liar yang tumbuh rapat , segera berlari. Hingga ia tiba di puncaknya. Dari puncak itu Ia melihat jelas di kejahuan Laut Sambelia. Lale Seruni berharap Demung Sandubaya melambaikan tangan dari perahu yang biasanya ia gunakan untuk melaut di desanya Labuan Lombok. Tapi itu tak pernah terjadi.

 

Dan suara itu masih terdengar. Ketika ia di Gunung Padak, suara itu seperti datant dari Gunung Nanggi. San ketika ia telah sampai di Naggi, suara itu datang dari Gunung Padak.