Seperti matahari yang hari ini menapak langit yang kemarin.
Sejarah sepertinya senang untuk mengulang. Sa’i yang dilakukan oleh Lale Seruni
bukanlah yang pertama. Berbeda Tempus & Lokus, Siti Hajar telah terlebih
melakukannya antara Shofa dan Marwa. Dua hal yang menghubungkan dua peristiwa
ini, Siti Hajar dan Lale Seruni sama-sama perempuan dan keduanya melakukannya
karena Cinta.
Tak banyak yang memahami Pesan utama dari Ritual Sa’I itu.
Sejatinya, Ia adalah perayaan dari manifestasi dari puncak dari segala Puncak
Cinta. Cinta terbesar yang menyebabkan Alam dan peradaban manusia ini
berkembang. Yaitu Cinta seorang Ibu Hajar pada sang Balita Ismail.
Manakah lagi cinta yang lebih mulia dari cinta ini. Cinta yang
mendorong perempuan sanggup tertawa dan berkata aku bahagia meskipun
bertahun-tahun hidup dalam sengsara dibawah kekejaman sorang Suami. Cinta yang
membuat putusnya ribuan urat reproduksi dirayakan dengan senyum puas dan
bahagia ketika fase melahirkan itu datang. Itulah Cinta ibu kepada anaknya.
Hajar tersihir oleh fatamorgana yang bergantian muncul antara Shofa dan Marwa,
ia sadar, bahwa air adalah sesutau yang mustahil didapat di tengah wadi, yang
seklilingnya adalah padang yang tandus dan berbatu.
Namun, tangis bayi Ismail membuat Hajar tak mau mempercayai
akalnya dan memperturutkan fatamorgana itu. Hingga 7 kali ia berlari melintasi
tanah bebatuan. Kaki lembutnya terluka oleh goresan bebatuan tajam, terik
matahari yang membakar, fisik mulai lapar dan haus.
Semuanya tak membuat Hajar ingin putus asa dari ikhtiar. Namun,
terbersit olehnya akan keselamatan Bayi Ismail yang ia tidurkan di satu-satunya
Pohon yang tumbuh di antara dua bukit itu. IA cemas jika sewaktu-waktu singa
atau srigala atu semut atau elang datang mengancam keselamatan putra
semayangnya. Sementara, tak ada manusia lain selain Ibu dan anak yang masih
bayi yang dapat dimintai tolong. Hajarpun kembali, dan mukjizatpun terjadi.
Ismail didapatkannya tengah tersenyum dan sebuah mata air muncul dari telapak
kaki mungil anaknya. Kelak, sumur itu dikenal sebagai Zam-Zam, sumur legendaris
yang airnya paling banyak diminum umat manusia.
Ritual Sa’i dan Air Zam-Zam adalah monument Cinta terbesar yang
ada di Bumi ini. Tuhan ingin semua orang mengingat itu. Maka dijadikanlah
Ritual Hajar mencari Air untuk bayinya Ismail sebagai rangkaian Ibadah yang
agung dalam Islam. Namun, orang kemudian terlupa. Mereka taat dan patuh, ikuti
seluruh ritual Sa’I , namun lupa pesan sesungguhnya. Tuhan ingin, semua orang
menghargai dan membalas cinta Ibu mereka. Banyak yang berlari antara Shofa dan
Marwa untuk mencari pahala, namun mengabaikan ibunya.
Kembali ke Lale Seruni. Pada akhirnya. Semua panggilan Lale
Seruni berbalas sunyi. Hanya deru angin yang datang dari Laut Sambelia yang
setia membalasnya. Untuk sejenak ia terdiam di puncak Gunung Padak. Sungguh
lari antara dua puncak Nanggi dan Padak melintasi Savana yang lebat oleh
ilalang dan rumput liar, bukanlah sesuatu yang mudah untuk perempuan Muda yang
sedang patah hati. Kakinya melepuh dan luka, udara dingin pegunungan tak
melindunginya dari proses hidrasi, mulutnya mengering, ia butuh air untuk
minum. Mendadak tubuhnya yang ramping terasa berlipat-lipat bobotnya, Kakinya
yang putih nan mungil itu sudah tak mampu lagi menyangga bagian atasnya.
Sekonyong ia roboh terduduk dan tenggelam dalam keheningan hutan
Gebong. Tempat terakhir yang dituju oleh Suaminya ketika diajak berburu oleh
Kertajagat, Penguasa Kedatuan Labuan Lombok yang secara illegal meleleh hatinya
oleh kecantikan Lale Seruni.
Sementara itu. Brangbantun, kakak kandung Demung Sandubaya yang
mendengar kabar angin tentang kematian adiknya segera menyusul Lale Seruni ke
Hutan Gebong. Sesampainya disana, ia langsung mengenali sosok dengan rambut
yang terikat daun pandan kering yang dianyam berbentuk teratai itu. Perempun
itu Iparnya. Diantara kemarahan akan kematian adiknya Demung Sandubaya, dan
gelombang perasaannya yang selama ini berusaha ia kurung dalam bunker terdalam
di hatinya. Pria perkasa, jawara silat Kedatuan Labuan Lombok, Brangbantun
ragu, berani tapi tak percaya diri untuk sekedar menyapa.
Terbayang olehnya malam yang sempurna di bulan yang lepas.
Ketika ia baru saja pulang dari berburu menemani sang Datu Kertajagat, Penguasa
kedatuan Labuan Lombok. Mereka melintasi sebuah rumah sederhana di pinggir kali
menanga baris. Sayup terdengar harmoni suara berire & jajak pertanda tuan
rumah sedang nyesek (menenun kain). Dihalaman rumah itu ada 3 sinar yang beradu
tajam ; purnama yang tengah paripurna di tanggal 14, lampu minyak jarak dan
satunya lagi cahaya tak biasa, wajah perempuan yang tengah tekun berkonsentrasi
memainkan berire mengatur jarak benang helai demi helai. Dan pemenangnya adalah
Cahaya terakhir. Cahaya kecantikan perempuan yang makin paripurna dengan
lilitan lekot Penenun di Pinggang. Lale Seruni.
Satu-satunya kesialan yang dibawa Seruni sejak lahir adalah
kecantikannya. Dan kutukan kecantikan itu melekat, membunututinya kemana jua.
Kecantikan dan kehancuran hidup bersisian yang dibatasi selulit tipis yang
rentan.
Kecantikan dengan mudah mengundang petaka. Seperti para pemburu
batu permata yang saling menikung dan saling mengkhianati antar sesama.
Menumpahkan darah antara dua bersaudara karena ketamakan untuk memiliki kemilau
batu permata itu. Kecantikan Lale Serunipun begitu. Bahkan dengan melihat ujung
rambutnya saja, orang langsung jatuh cinta.
Kecantikan Seruni adalah getah pohon Pisonia yang tak sengaja
telah memampuskan ribuan burung penikmat buahnya.
Semua terpana. Keterpanaan itu mengubah Kertajagat semenjak
malam yang sempurna itu menjadi Pria terlaknat sempurna di zamannya. Ia yang
telah memiliki permaisuri dan beberapa selir , kasmaran tanpa kepalang. Panas
dingin seperti orang terinfeksi virus Corona. Akal sehatnya hilang. Nasehat
para pembesar & tokoh adat semua mental, seperti air yang hinggap di daun
talas. Aku harus memilikinya meskipun harus melenyapkan Demung Sandubaya,
suaminya. Begitu bisik setan yang terasa indah di benaknya. Kertajagat mengatur
Siasat, kecelakaan saat berburu rusa adalah alibi yang sempurna.